Selasa, 03 Mei 2016

Legenda Rawa Pening


Pada zaman dahulu kala, hiduplah sepasang suami istri. Mereka hidup berdua dengan sederhana, tetapi mereka sangat sedih karena sampai hari ini mereka belum dikaruniai oleh seorang anak pun. Hari demi hari mereka menunggu dengan sabar, tetapi belum juga dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Karena tak kuasa melihat istrinya terus bersedih, sang suami akhirnya memutuskan untuk pergi bertapa di Gunung Telomoyo untuk memohon agar dikarunia anak.

Setelah beberapa lama sang suami bertapa di lereng gunung, sang istri yang bernama Nyai Selakanta hamil. Perut Nyai Selakanta pun semakin hari semakin membesar hingga akhirnya dia pun melahirkan seorang anak. Namun betapa terkejutnya Nyai Selakanta bahwa yang dilahirkan olehnya adalah seekor naga. Ajaibnya naga tersebut dapat berbicara layaknya manusia. Nyai Selakanta pun menamainya Baru Khlinting. Sebenarnya Nyai merasa malu melahirkan seekor naga, tetapi meskipun begitu Nyai tetap merawatnya layaknya seorang manusia.

Hari demi hari Baru Khlinting semakin membesar. Hingga pada suatu hari dia betanya kepada ibunya, “Ibu di manakah keberadaan ayahku?”. Nyai Selakanta pun memberitahukannya bahwa ayahnya sedang berada di lereng Gunung Telomoyo. Baru Khlinting pun pergi ke gunung demi menemui ayahnya yang sedang bertapa di sana. Setelah sampai di tempat ayahnya, Baru Khlinting bertemu seorang pria tua yang merupakan ayahnya. Dia memperkenalkan dirinya, tetapi ayahnya tidak mempercayainya. Ayahnya kemudian meminta Baru Khlinting untuk membuktikannya. “Jika kamu memang anakku, coba lingkari gunung ini dengan tubuhmu,” pinta ayahnya.

Baru Khlinting pun melaksanakannya dan berhasil. Tetapi ayahnya masih belum mempercayainya. Dia lalu memintanya untuk bertapa di Bukit Tugur untuk menjadi seorang manusia. Akhirnya pergilah Baru Khlinting melaksanakan perintah ayahnya. Selama dirinya melakukan pertapaan di sana, penduduk desa yang berada di bawah bukit sedang melakukan upacara adat. Mereka pergi berburu untuk mendapatkan makanan. Saat mereka tiba di Bukit Tugur, penduduk desa menemukan Baru Khlinting yang sedang bertapa. Kemudian mereka memotong tubuhnya dan dan membawa dagingnya ke pesta adat.

Ketika para penduduk desa sedang menikmati makan besar bersama, datanglah seorang anak kecil yang kumel dan bau yang ternyata merupakan penjelmaan Baru Khlinting. Anak itu mendekati pesta itu dan berharap untuk diberikan makanan. Namun penduduk desa menolaknya, “Pergilah kau dasar pengemis! Tubuhmu kotor dan bau!”.  Melihat kejadian itu seorang wanita tua yang bernama Nyai Latung merasa kasihan kepadanya. “Nak ikutlah pergi ke rumah nenek!” perintah nenek itu. Anak itu pun pergi mengikuti nenek ke rumahnya.

Setelah tiba di rumah nenek itu, dia diberi makan yang banyak. Baru Khlinting pun sangat senang hingga menghabiskan semua makanan yang dihidangkan itu. “Terimakasih Nek, kau sangat baik kepadaku tidak seperti warga kampung itu!” kata anak itu. Sebelum pergi anak itu berpesan kepada nenek itu bahwa jika dirinya mendengar suara gemuruh hendak mencari sebuah lesung dan menaikinya. Kemudian anak tersebut kembali lagi menuju pesta meriah tersebut.

Sesampainya di pesta tersebut, Dia kembali meminta makanan kepada warga di sana. Akan tetapi dia diusir dan di lempar hingga terjatuh. Dengan amarahnya anak itu bangkit dari tanah dan mengeluarkan sebuah lidi. Kemudian lidi itu ditancapkannya di dalam tanah. Anak kecil itu pun menantang seluruh warga desa, “Siapa yang bisa mencabut lidi ini dari tanah, dialah orang yang kuat. Mendapat penghinaan tersebut seluruh warga desa di sana mencoba untuk mencabut lidi itu namun gagal.

“Payah kalian sangat payah bahkan tidak bisa mencabut lidi kecil itu,” ejek anak itu. Semakin lama warga desa itu berkumpul di lapangan dan mencoba untuk mencabut lidi itu. Tetapi tak ada satu pun yang berhasil. Akhirnya anak itu mencabut lidi yang ditancapkanya ke dalam tanah. Tak lama setelah itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang sangat besar dan tanah bekas tancapan lidi tersebut mengeluarkan air yang semakin lama semakin deras. Air tersebut berubah menjadi banjir yang besar dan menenggelamkan seluruh penduduk desa yang angkuh tersebut. Baru Khlinting pun menghukum mereka hingga tak ada satu pun yang selamat kecuali seorang nenek tua yang berhasil selamat karena berada di atas lesung. Hingga saat ini rendaman air itu masih ada dan desa tersebut telah berubah menjadi rawa yang dikenal sebagai Rawa Pening. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar